eMaritim.com 24 September 2018
Dalam beberapa tahun terakhir terdapat kerancuan dalam hal pengelolaan pelabuhan di Indonesia, dimana hal tersebut sebenarnya sudah secara jelas dan terang di tuangkan kedalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 57 tahun 2015 tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal.
Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Perhubungan cq. Ditjen HUBLA menempatkan pejabatnya yang berwenang di setiap pelabuhan, baik pelabuhan yang sudah diusahakan maupun yang belum diusahakan. Untuk pelabuhan yang belum diusahakan karena ukuran dan fungsinya, pemerintah menempatkan pejabat negara yang memiliki tugas sebagai berikut; pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan dan pemberian jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersil.
Dalam 2 tahun terakhir, di Pelabuhan Belang-belang Sulawesi Barat, PT. Pelabuhan Indonesia IV (Sebuah Badan Usaha Komersial) melakukan jasa pemanduan kepada kapal-kapal yang berkunjung ke Terminal khusus Lettawa di Pasangkayu dan Tersus Unggul dan seluruh wilayah kerja Belang-belang termasuk di pelabuhan Belang-belang sendiri. Namun setelah diperiksa oleh Kepala Unit Penyelenggara Pelabuhan Belang-belang yang baru Capt. Kristina Anthon SSit, MH didapati bahwa hal tersebut tidak didukung perangkat aturan dan prasarana yang benar.
"Dengan adanya temuan ini Kepala UPP Belang-belang akan meninjau kembali pelaksanaan yang sudah ada selama hampir 2 tahun. Dan akan melaporkan ke Dirjen Perhubungan Laut cq Direktorat Kepelabuhanan semua temuan-temuan diatas. Dan sebagai pengawas pemanduan tidak akan memperpanjang lagi kerja sama dengan PT Pelindo IV. Karena waktu 2 tahun itu bukanlah waktu yang singkat untuk tidak memiliki sarana dan prasarana sama sekali. Dari sekian persyaratannya tidak ada satupun yang dimiliki penyedia pamanduan dan penundaan kapal yaitu PT Pelindo IV Cabang Pantoloan".
Selanjutnya Capt. Kristina menambahkan; "PNBP adalah merupakan kompensasi yang harus dibayar dari pemungutan pemanduan, tapi bukan tujuan utama dari pemanduan tersebut. Jadi bukan alasan melakukan pemanduan untuk mencarikan uang buat negara seperti yang dijadikan alasan oleh beberapa pihak. Bahwa jika kami tidak memandu berarti ada kerugian negara. Padahal tidak ada hubungannya kerugian negara dengan tidak adanya pelayanan pemanduan".
Kepala UPP mengatakan hal ini karena dirinya langsung turun ke lapangan dan mendapati beberapa terminal yang dikatakan dilayani pemanduan sama sekali tidak ada sarana dan prasarananya dalam hal ini Pilot boat dan juga stasiun radio.
"Tidak akan mungkin pandu bisa naik ke kapal tanpa pilot boat. Dan bagaimana pihak kapal akan menghubungi pemanduan yang tidak punya sarana radio? Juga kapal tunda yang tidak dimiliki penyedia jasa pemanduan dan penundaan, intinya tidak ada sarpras sama sekali".
Diapun menjelaskan bahwa; "Jarak antara penyedia pemanduan dan penundaan kapal sangat jauh, yaitu berada di Pantoloan yang jarak tersingkatnya 3 jam perjalanan darat dan ke kantor Belang-belang bisa sampai 7 jam perjalanan lewat darat. Dalam hal ini pengawas pemanduan (Kepala UPP) melihat tidak efektifnya pelayanan pemanduan dengan jarak demikian".
Pemerintah juga sudah mengatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 57 bahwa perairan di pelabuhan dibedakan sesuai tingkat kesulitan dan keselamatannya, ada perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. Perairan pandu luar biasa artinya adalah jika nakhoda kapal meminta atas dasar keselamatan, maka pelayanan harus diajukan kepada pengawas pemanduan setempat, yang dalam hal ini adalah Syahbandar, Kanpel, KSOP ataupun KUPP. Apabila hal tersebut dilakukan, maka negara berhak memungut PNBP atas jasa yang diberikan.
Perairan pelabuhan Belang-belang sendiri masih termasuk perairan pandu luar biasa. Artinya pemanduan dilakukan atas permintaan dari nakhoda kapal, atau atas perintah dari pengawas pemanduan setempat yang dalam hal ini adalah Kepala KUPP, tanpa itu tidak ada alasan dilakukan pemanduan, apapun dalihnya. "Apalagi jika memberatkan dan menghambat pergerakan kapal sampai menunggu pandu yang terlalu lama tiba ditempat karena tidak miliki akomodasi di wilayah pemanduannya untuk siap dalam setiap saat melayani" tutupnya.(jan)
Dalam beberapa tahun terakhir terdapat kerancuan dalam hal pengelolaan pelabuhan di Indonesia, dimana hal tersebut sebenarnya sudah secara jelas dan terang di tuangkan kedalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM 57 tahun 2015 tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal.
Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Perhubungan cq. Ditjen HUBLA menempatkan pejabatnya yang berwenang di setiap pelabuhan, baik pelabuhan yang sudah diusahakan maupun yang belum diusahakan. Untuk pelabuhan yang belum diusahakan karena ukuran dan fungsinya, pemerintah menempatkan pejabat negara yang memiliki tugas sebagai berikut; pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan dan pemberian jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersil.
Dalam 2 tahun terakhir, di Pelabuhan Belang-belang Sulawesi Barat, PT. Pelabuhan Indonesia IV (Sebuah Badan Usaha Komersial) melakukan jasa pemanduan kepada kapal-kapal yang berkunjung ke Terminal khusus Lettawa di Pasangkayu dan Tersus Unggul dan seluruh wilayah kerja Belang-belang termasuk di pelabuhan Belang-belang sendiri. Namun setelah diperiksa oleh Kepala Unit Penyelenggara Pelabuhan Belang-belang yang baru Capt. Kristina Anthon SSit, MH didapati bahwa hal tersebut tidak didukung perangkat aturan dan prasarana yang benar.
"Dengan adanya temuan ini Kepala UPP Belang-belang akan meninjau kembali pelaksanaan yang sudah ada selama hampir 2 tahun. Dan akan melaporkan ke Dirjen Perhubungan Laut cq Direktorat Kepelabuhanan semua temuan-temuan diatas. Dan sebagai pengawas pemanduan tidak akan memperpanjang lagi kerja sama dengan PT Pelindo IV. Karena waktu 2 tahun itu bukanlah waktu yang singkat untuk tidak memiliki sarana dan prasarana sama sekali. Dari sekian persyaratannya tidak ada satupun yang dimiliki penyedia pamanduan dan penundaan kapal yaitu PT Pelindo IV Cabang Pantoloan".
Kepala UPP mengatakan hal ini karena dirinya langsung turun ke lapangan dan mendapati beberapa terminal yang dikatakan dilayani pemanduan sama sekali tidak ada sarana dan prasarananya dalam hal ini Pilot boat dan juga stasiun radio.
"Tidak akan mungkin pandu bisa naik ke kapal tanpa pilot boat. Dan bagaimana pihak kapal akan menghubungi pemanduan yang tidak punya sarana radio? Juga kapal tunda yang tidak dimiliki penyedia jasa pemanduan dan penundaan, intinya tidak ada sarpras sama sekali".
Diapun menjelaskan bahwa; "Jarak antara penyedia pemanduan dan penundaan kapal sangat jauh, yaitu berada di Pantoloan yang jarak tersingkatnya 3 jam perjalanan darat dan ke kantor Belang-belang bisa sampai 7 jam perjalanan lewat darat. Dalam hal ini pengawas pemanduan (Kepala UPP) melihat tidak efektifnya pelayanan pemanduan dengan jarak demikian".
Pemerintah juga sudah mengatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 57 bahwa perairan di pelabuhan dibedakan sesuai tingkat kesulitan dan keselamatannya, ada perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa. Perairan pandu luar biasa artinya adalah jika nakhoda kapal meminta atas dasar keselamatan, maka pelayanan harus diajukan kepada pengawas pemanduan setempat, yang dalam hal ini adalah Syahbandar, Kanpel, KSOP ataupun KUPP. Apabila hal tersebut dilakukan, maka negara berhak memungut PNBP atas jasa yang diberikan.
Perairan pelabuhan Belang-belang sendiri masih termasuk perairan pandu luar biasa. Artinya pemanduan dilakukan atas permintaan dari nakhoda kapal, atau atas perintah dari pengawas pemanduan setempat yang dalam hal ini adalah Kepala KUPP, tanpa itu tidak ada alasan dilakukan pemanduan, apapun dalihnya. "Apalagi jika memberatkan dan menghambat pergerakan kapal sampai menunggu pandu yang terlalu lama tiba ditempat karena tidak miliki akomodasi di wilayah pemanduannya untuk siap dalam setiap saat melayani" tutupnya.(jan)