Sumber Daya Manusia, Undang Undang Maritim, dan Universitas Maritim Sebagai Kebutuhan Pokok Negara Maritim dalam HUT CAAIP ke 60 -->

Iklan Semua Halaman

Sumber Daya Manusia, Undang Undang Maritim, dan Universitas Maritim Sebagai Kebutuhan Pokok Negara Maritim dalam HUT CAAIP ke 60

Ananta Gultom
Friday, November 24, 2017
Jakarta, eMaritim.com

Peserta FGD

Kebijakan Pemerintah Indonesia yang berhaluan maritim mendapat angin segar dari sektor pendidikan dan landasan hukum maritim seperti yang terangkum dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) dalam rangka memperingati HUT ke 60 Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran (CAAIP). Diskusi yang mengambil tema "Meningkatkan Kualitas SDM Pelayaran Niaga Melalui Pendidikan Tingi Yang Berkarakter Industri" dilaksanakan di Jakarta pada 22 November lalu dengan menampilkan Pembicara dari berbagai unsur, Capt. Sahattua P Simatupang MM.MH ( Direktur STIP), Dr. Chandra Motik SH.Msc (Pakar Hukum Laut Indonesia), Laksamana  Muda Estoe Prabowo Msc (Lemhanas), dan Lisda Satria (Ketua Bidang Pengembangan SDM DPP INSA).

Focus Group Discussion ini sekaligus sebagai lanjutan dari Instruksi Menteri Perhubungan no.6 tahun 2017, dengan Kepala BPSDM Perhubungan yang menjadi Pengawas kegiatan yang Dilaksanakan oleh Ketua STIP dan merupakan rangkaian untuk meningkatkan mutu pendidikan di lingkup Kementerian Perhubungan.

Kebutuhan akan landasan yang kuat dalam mewujudkan Negara Maritim mutlak dibutuhkan bangsa dan negara ini sebelum terlalu jauh melangkah ke aspek komersial dan industri lainnya yang sifatnya sangat fluktuatif. Adalah sektor Hukum Maritim dan Sumber Daya Manusia yang seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah dalam mewujudkan mimpi dan angan angan menjadi negara maritim yang hebat.

Sangat ironis bahwa negara ini belum memiliki Undang Undang Maritim yang akan menjadi payung hukum semua instansi dan semua aturan yang bermuara di lautan NKRI yang luasnya 2/3 wilayah negara. Pemerintah diyakini masih belum menyadari bahwa Undang Undang yang ada selama ini masih tumpang tindih antara urusan kelautan dan maritim, UU 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, UU nomor 45 tentang perikanan dan Peraturan lainnya masih terkotak kotak dalam wadah UU yang berbeda. Tidak bisa dipungkiri pada akhirnya terjadi kesimpang siuran dalam perebutan kekuasan di laut yang berujung kepada ekonomi biaya tinggi, tidak kurang dari 10 instansi yang merasa berwenang dan memiliki otoritas di laut karena masing masing digawangi oleh peraturannya. Air laut yang semestinya asin berubah menjadi manis yang pada ujungnya akan menjadi pahit buat semua end user alias masyarakat pengguna barang yang diangkut kapal.

Nara Sumber

Dr. Chandra Motik SH.Msc memaparkan tentang Hukum Laut Perdata (The Law of Admiralty/ Maritime Law) yang tebagi dalam 3 bagian besar; Public Maritime Law, Related Aspect Maritime Law, Private Maritime Law dimana ketiga bagian besar tersebut memiliki turunan yang berjumlah 38 hukum lagi. Dan fakta yang sangat menyedihkan adalah bahwa Dr. Chandra Motik belum memiliki generasi penerus sabagai Pakar Hukum Laut negara ini. Disinilah ke alpaan pemerintah yang begitu lama memunggungi lautan yang sudah memberikan kehidupan kepada kita semua.

Kebutuhan akan SDM yang tangguh dipaparkan oleh Capt Sahattua P Simatupang MM.MH dengan mengadopsi kepada kemajuan teknologi dan industri yang akan dituju oleh para lulusan Sekolah Pelayaran. Jika selama ini pendidikan berorientasi kepada pekerjaan untuk posisi diatas dikapal, maka pengembangan program lain di lingkup pelayaran itu sendiri sudah menjadi suatu keharusan, agar kebijakan maritim dan undang undang maritim di tulang punggungi oleh insan maritim yang dihasilkan sebuah Universitas Maritim yang belum pernah ada di Negara NKRI. Maritim tidak sekedar kapal dan palaut, walau mereka adalah lakon utama, tetapi masih ada bisnis warehousing, cargodoring, bongkar muat, Ship's management, Chartering, Ship's safety, Ship's insurance dan masih banyak bidang yang bisa dijadikan program pembelajaran tingkat akademi ataupun lanjutan.

Inilah 2 ironi negara Kepulauan Republik Indonesia, tidak memiliki Undang Undang Maritim dan tidak Memiliki Universitas Maritim. Pada akhirnya kita terjebak kedalam business game raksasa industri pelayaran dan pelabuhan dunia, dimana kita terpaksa menerima karena ketidak tahuan dan keterpaksaan atas keinginan menjadi negara maritim, we woke up with the wrong foot.

Sementara itu Laksamana Muda Estoe Prabowo Msc, yang dahulu juga bersekolah di AIP/PLAP (nama STIP dahulu) lulusan tahun 1986 (Angkatan 25 AIP/PLAP) memaparkan pentingnya aspek pembinaan mental dalam dunia pendidikan. Bahwa Keras tidak sama dengan Kekerasan menjadi hal yang menarik dibahas. Tidak dipungkiri bahwa pekerjaan apapun membutuhkan disiplin dan jatidiri yang baik. Pembentukan mental ditingkat Perguruan Tinggi menjadi salah satu kunci keberhasilan dan karakter seseorang dalam berkarir. Sulit membayangkan seorang Perwira Pelayaran diatas kapal berjiwa klemar klemer dan tidak mampu memimpin. Pendidikan di STIP tetap harus memiliki karakter tetapi tidak boleh mengubah apa tolerir kekerasan didalamnya, serta harus mampu mengantipasi perkembangan jaman dimana kedepannya para SDM akan berkompetisi dengan Autonomous technology tidak hanya dengan SDM negara lain.

Pembicara terakhir dalam diskusi tersebut adalah Lisda Satria, seorang yang sangat aktif di bidang pengembangan SDM dari DPP INSA (Asosiasi Pemilik Kapal di Indonesia). Dia menjelaskan mengenai ekspektasi industri terhadap SDM sekolah pelayaran dalam perpektif perusahaan pelayaran di Indonesia. Bahwa industri membutuhkan para lulusan yang dihasilkan sudah memiliki pengalaman dan taste yang dihasilkan dari pendidikan berkarakter industri seperti yang di lakukan STIP.

Kepala BPSDM Perhubungan

Diskusi ini dibuka oleh Kepala BPSDM Perhubungan Joko Sasono yang dilanjutkan dengan penanda tanganan peresmian klinik STIP menjadi Klinik Utama serta Penetapan nama Perpustakaan STIP menjadi Perpustakaan Amirullah. Nama terakhir adalah taruna korban kekerasan yang meninggal dunia tahun lalu yang dilakukan oleh Kakak kelasnya. Penghargaan tertinggi juga diberikan kepada keluarga Almarhum Amirullah yang hadir lengkap, sebagai simbol bahwa STIP dan Sekolah Pelayaran lain siap berubah dan memperbaiki diri untuk mengkawal kejayaan dunia maritim Indonesia.

Keluarga Almarhum Amirullah

Selain Ketua Corps Alumni Akademi Ilmu Pelayaran Capt Iman Satria Utama, undangan VIP dari HUBLA, Ketua Corps Alumni Akpelni Capt H Soehariyo, juga hadir  ketua IKPPNI Capt Dwiyono Soeyono, Ketua Forkami James Talakua, Ketua KPI Capt Hasudungan Tambunan, Perwakilan INNI, Pramarin, Goemaritim, KMC, MCC, Yayasan Maritim 29, CIMA dan media peliput.

HUT ke 60 CAAIP kali ini terlihat berbeda, keinginan kuat menjadi lebih baik dan lebih bergandengan tangan dengan sesama insan maritim terasa bersahaja dengan melakukan acara yang sederhana dan sangat bermanfaat. Semboyan Together We Build, Together We Can semoga bisa menjadi pemeran penting kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (ZAH)