Pemindahan Area Pengisian BBM di Tg Priok Hanya Memindahkan Resiko -->

Iklan Semua Halaman

Pemindahan Area Pengisian BBM di Tg Priok Hanya Memindahkan Resiko

Ananta Gultom
Sunday, September 17, 2017
Surabaya 17 September 2017, eMaritim.com

Sumber: Istimewa

Kebijakan Pelarangan Perbaikan kapal dan pengisian BBM di Pelabuhan Tanjung Priok yang dikeluarkan oleh Direktur KPLP pada tanggal 16 Juni 2017 bernomor 65/VI/DN-17 yang dilanjutkan oleh edaran Kepala Syahbandar Utama Tanjung Priok dengan nomor UM 003/10/17/SYB TPK-17 menambah daftar kebijakan kontradiktif yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini HUBLA.

Di saat pemerintah sedang menggalakkan efisiensi dan menekan biaya logistik Nasional, sebuah edaran Direktur KPLP seperti bertolak belakang dari hal tersebut. Seakan menambah keruwetan pengelolaan urusan maritim, pelabuhan Tanjung Priok mengeluarkan edaran yang melarang kapal melakukan pengisian Bahar Bakar Minyak (BBM) di dermaga, serta barus dilakukan siang hari.

Tidak perlu membuka Undang Undang 17 tahun 2008 untuk mencari referensinya,  karena memang tidak akan ditemui disana. Dari kacamata awam saja hal ini akan sangat sulit diterima.

Apabila sebuah kapal selesai melakukan kegiatan menaikkan /menurunkan penumpang atau membongkar/muat barang di sore hari, maka kapal tersebut harus berlayar ke area labuh jangkar untuk melakukan pengisian BBM esok harinya. Lalu apa artinya menekan biaya logistik ?

Lalu apakah hal tersebut bisa dikategorikan meminimalisir resiko dari kegiatan pengisian BBM ? Jelas hal tersebut hanyalah memindahkan resiko dari dermaga ke area yang masih dalam lingkup DLKR dan DLKP  Pelabuhan Tanjung Priok sendiri.

Dalam sebuah industri pasti ada HAZARD yang berpotensi menyebabkan kecelakaan buat manusia, pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan barang. Dalam sistem Keselamatan Umum dikenal istilah Risk Assessment yang memiliki 4 proses didalamnya ;
1. Identifikasi bahaya
2. Assess Resiko
3. Manage Resiko nya
4. Monitor dan Review


Untuk mendapatkan hasil yang baik,  maka pihak yang menjadi pelaksana,  Safety Officer dan supervisor (dalam hal pelabuhan,  regulator) harus dilibatkan dalam melakukan Risk Assessment dan hal itu sudah bertahun tahun jamak dilakukan di industri yang dikategorikan beresiko tinggi, seperti kegiatan lepas pantai, pengeboran,  pekerjaan bawah air dan lainnya.

Dikarenakan semua pekerjaan tidak pernah sama resiko dan keadaan nya,  maka untuk itu juga harus dibuat Job Safety Analysis yang spesifik untuk hal dan lingkungan berbeda. Dengan melakukan identifikasi dan evaluasi maka setiap resiko bisa di singkirkan atau bisa diterima sampai batas yang diizinkan.


Pengoperasian sebuah pelabuhan similar dengan kegiatan industri secara umum, dimana kemungkinan terjadinya Simultaneous Operation (SIMOPS) bisa terjadi. Dengan pemahaman akan Health,  Safety dan Environment yang baik, maka setiap pekerjaan yang berpotensi membahayakan manusia,  lingkungan dan kerusakan barang bisa dengan normal disikapi.

Ada baiknya Kementerian Perhubungan lebih giat memberikan pelatihan yang berkaitan dengan Keselamatan, Lingkungan, dan Kesehatan kepada aparatnya agar kebijakan yang dikeluarkannya tidak terkesan dipaksakan dan ujung-ujung nya ditarik lagi setelah diuji oleh publik yang melek pemahaman tentang hal tersebut. Solusi lainnya adalah dengan melibatkan pihak independen yang tidak memiliki kepentingan terhadap sebuah kebijakan yang akan ditelurkan, apabila memang kemampuan SDM di Kementerian Perhubungan cq HUBLA belum mumpuni.(zah)