Pelaut Indonesia Aset Pendukung Wujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia -->

Iklan Semua Halaman

Pelaut Indonesia Aset Pendukung Wujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

Ananta Gultom
Monday, July 31, 2017
foto: istimewa
Jakarta, INSA – Sumber Daya Manusia (SDM) Pelaut Indonesia merupakan aset pendukung untuk mewujudkan nawacita Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

“Jumlah pelaut Indonesia yang besar dan tersebar di dalam maupun luar negeri telah menjadikan Indonesia dikenal dunia. Dengan jumlah pelaut yang besar tersebut, kami menganggap pelaut Indonesia telah menjadi aset bangsa untuk mendukung terwujudnya Indonesia sebagai poros maritim dunia” ujar Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, A. Tonny Budiono dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (31/72017).

Tonny mengatakan, pemerintah telah memberikan perhatian lebih kepada para pelaut Indonesia salah satunya dengan meratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006 melalui Undang-Undang No. 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006. Diratifikasinya konvensi tersebut, diharapkan dapat mendorong kesejahteraan pelaut dan awak kapal karena dari berbagai persoalan yang selama ini dihadapi pelaut dan awak kapal salah satunya mengenai isu ketenagakerjaan.

Menurut Tonny, instansinya telah menerima pengaduan terkait urusan kesejahteraan pelaut melalui contact center 151 dan juga melalui media sosial resmi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut seperti keluhan pelaut mengenai gaji yang rendah dan minimnya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

“Peningkatan kesejahteraan pelaut, termasuk yang bekerja di perusahaan pelayaran dalam negeri juga menjadi perhatian kami. Namun tentunya untuk mewujudkan kesejahteraan pelaut banyak aspek lain yang harus disiapkan dan berkoordinasi dengan Kementerian lain dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,” ungkapnya.

Tonny menegaskan masalah ketenagakerjaan, termasuk hubungan pemberi kerja dan penerima kerja merupakan domain dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.

“Untuk itu, Kementerian Perhubungan mendukung dikeluarkannya aturan pelaksana dari UU No15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006 untuk memberikan kepastian kepada pelaut dan pencari kerja yang akan bekerja di atas kapal serta industri kapal dan meningkatkan perlindungan bagi pelaut dan awak kapal serta memberi kesempatan kerja yang lebih luas di bidang kemaritiman,” katanya.

Tonny menyebutkan Indonesia memiliki kurang lebih 750.000 pelaut. “Untuk itu, dengan adanya UU No. 15 Tahun 2016 tentunya Indonesia akan mendapat apresiasi dari dunia internasional, karena memberikan perlindungan yang optimal bagi pelautnya serta dapat memberi kesempatan kerja bagi 10.000 lulusan sekolah pelaut setiap tahun sebagai pencari kerja yang akan bekerja di atas kapal,” katanya.

Sementara itu, Direktur Perkapalan dan Kepelautan Capt. Rudiana,MM menuturkan pada prinsipnya Kementerian Perhubungan menerima pengaduan terkait kesejahteraan pelaut dan akan memfasilitasi dengan pihak perusahaan atau agen pelayaran.

Menurut Rudiana, Kemenhub telah melakukan mediasi atau memfasilitasi pertemuan antara pihak-pihak yang tidak menemukan jalan keluar sehingga regulator hadir untuk membantu penyelesaian seperti yang telah dilakukan minggu lalu saat menjadi mediator penyelesaian santunan bagi ABK kapal KTH Green Global yang hilang pada 22 Februari 2016 di Kumai, Kalimantan Timur.

Kesejahteraan pelaut, dikatakan Rudiana, dalam hal ini terkait dengan gaji dan perlindungan kerja sudah tertuang dalam Surat Perjanjian Kerja Laut (PKL) namun dasar perjanjian tersebut hanya mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang belum maksimal memberikan perlindungan yang memadai terhadap pelaut.

“Oleh karena itulah, UU No15 Tahun 2016 diterbitkan agar Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Dinas Ketenagakerjaan bisa melakukan pengawasan di bidang kemaritiman. Misalnya, perjanjian kerja laut antara pelaut dan perusahaan pelayaran selain diketahui syahbandar juga perlu keterlibatan Kementerian atau Dinas Ketenagakerjaan,” ujar Rudiana.

Rudiana menjelaskan para pelaut dapat mengadu ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi karena di Kementerian tersebut ada pengadilan industrial dan dapat membentuk lembaga tripartite untuk penyelesaian masalah ketenagakerjaan pelaut.

“Kami sampaikan juga bahwa Kementerian Perhubungan tidak tinggal diam dan menunggu saja namun kami berkoordinasi dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam upaya pemenuhan hak-hak tenaga kerja pelaut di Tanah Air dan memberikan standar pedoman bagi setiap negara dan pemilik kapal untuk menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi tenaga kerja pelaut,” pungkasnya.(*)